Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Oktober 2017

(CERPEN) DIALOGKU BERSAMA WAKTU

Oleh : Pujangga Kelana


Setumpuk kerjaan di atas meja menuntut penyelesaian segera, sementara malam semakin larut. Dinginnya menyelusup nakal ke dalam pori – pori hingga sampai ke dalam tulang, bekukan darah, bahkan sesakkan dada, dan gigilkan tubuhku, meski sudah terbungkus kaos tangan panjang berbahan tebal dan berselimut kain sarung pula. Namun dinginnya malam tetap tidak dapat ditangkal begitu saja.
“Duhai sang waktu, tolong aku jangan terlalu cepat langkahmu agar semua pekerjaan ini dapat rampung sebelum pagi menjelang.” Suara hatiku seraya melirik ke arah jam dinding yang sudah mulai bergeser dari jam 12.
“Ada apa duhai manusia ?” suara lembut dari arah yang belum aku ketahui asalnya.
“Suara siapa itu ?” aku balik tanya sambil mencari sumber suara.
“Aku sang waktu yang selalu setia menemani semua mahluk di muka bumi ini.”
“Kau ada dimana ?”
“Aku ada dimana – mana. Bergerak dengan arah yang pasti, temui pagi, temani siang, temui sore, dan mengantarkan senja ke hujung batas permulaan malam, kemudian menjadi penjaga manusia saat tidur lelap dengan berjuta mimpi yang sesuai dengan situasi hati mereka masing – masing.” Suara itu semakin jelas terdengar.
“Tunjukan wujudmu ! Aku ingin melihatmu.” Aku berdiri dan mencari sumber datangnya suara ke segala arah ruang kamarku, namun tidak ada tanda – tanda mahluk lain yang kutemui selain aku, nyamuk – nyamuk nakal yang tidak pernah lelah mengusikku, cicak di dinding, dan dinginnya angin malam yang menyelinap dari pentilasi jendela.
“ Aku tidak bermujud seperti mahluk hidup lain, tapi aku ada dan hidup di muka bumi ini. Bahkan sejak pertama Allah menciptakan bumi beserta isinya, aku sudah tercipta. Dan aku akan selalu hidup sampai batas waktu akhir tugas bumi melayani mahluk penghuninya yang kerap disebut Allah dalam Al-quran dengan sebutan hari kiamat.”
“ Kenapa kamu menemui aku malam ini ?” Tanyaku lagi semakin penasaran.
“ Aku selalu menemui siapa pun, menegur siapa pun, berbicara kepada siapa pun, namun mereka tidak pernah sadar akan keberadaanku. Mereka terlampau asik terlena oleh gemerlapnya dunia. Ada yang terlena oleh kebahagiaannya. Ada yang terlena dan larut dalam kesedihannya, tanpa menyedarari bahwa aku selalu ada di dekat mereka. Bahkan sangat dekat, lebih dekat dari nyawa mereka sendiri.”
Aku terus saja mencari sumber suara itu ke setiap jengkal ruangan kamarku, namun tidak dapat aku temukan wujud asli dari suara yang mengaku sebagai Sang Waktu itu.
“Kau tidak perlu mencari wujudku seperti itu duhai manusia. Karena sudah aku katakana, aku mahluk ciptaan Allah sepertu mahluk lainnya yang hidup dengan duniaku sendiri. Berjalan tanpa lelah dan tanpa keluh kesah. Tunduk dan manut tanpa berani membantah dan protes atas tugas mulia yang diberikan Allah kepadaku.”
“Memangnya, apa tugas muliamu?” tanyaku lagi.
“Allah telah menyampaikan salah satu firmannya dalam Al-quran yang setiap hari menjelang murid – muridmu pulang seusai mengikuti pembelajaran di kelasmu, menjadi bacaan rutin dalam doanya yang kurang lebih bermakna, Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali bagi mereka yang beriman. Dan yang beamal shaleh. Yaitu orang – orang yang saling menasehati dalam kebaikan. Dan saling menasehati dalam kesabaran.” Jelas suara misterius itu.
“Aku belum faham apa maksudnya.” Ujarku.
“Keberadaanku sangat diperhitungkan oleh Allah yang menciptakanku. Bahwa dengan diciptakannya aku ini, akan ada dua golongan manusia yang menurut Allah saling berlawanan, yaitu manusia yang merugi karena tidak mampu memanfaatkan waktu dengan beriman dan beramal shaleh, serta saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Kemudian akan ada pula golongan manusia yang beruntung yaitu bagi manusia yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.”
“Ya..ya..ya..aku paham sekarang. Tugasku sebagai guru, tentunya dapat digolongkan sebagai salah satu kriteria orang yang beruntung itu, yah ?” Kataku sambil tersenyum kecil.
Aku merasa semakin nyaman saja berbincang dengan Sang Waktu, meski tidak dapat aku lihat bentuk dan wujudnya.
“Bisa ya, bisa juga tidak.”
“Kok begitu ?”
“Tergantung, apakah kau termasuk guru yang beriman dan beramal shalah. Tulus ikhlas tanpa pambrih menasehati murid – muridmu agar mereka menjadi insan – insan berakhlak mulia, terus dengan telaten memberikan bekal kepada mereka ilmu kesabaran dalam menghadapi semua cobaan dan ujian dari Allah. Jika semua itu sudah kau laksanakan dengan baik dan benar, maka kau termasuk manusia yang beruntung.” Sahut Sang Waktu.
Aku garuk – garuk kepala meski sebenarnya bukan karena merasa gatal, hanya terasa seperti disadarkan dari seuah kenyataan yang kujalani selama ini. Rasanya aku memang belum tergolong manusia beruntung, karena guru yang kujalani selama ini terasa masih sekedar menggugurkan kewajiban. Profesi guru yang kujalani selama ini hanya sebatas melaksanakan tugas pekerjaan untuk mendapatkan nafkah, seperti para pekerja yang lainnya.
Aku masih sering mengeluh saat uang gaji yang kuterima tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari – hari. Aku sering tidak sabar menghapi siswa yang sedikit berprilaku nakal. Aku lebih cenderung melaksanakan tugas mentransfer ilmu yang kubaca dari buku paket ke dalam kepala murid – muridku dengan tanpa menekankan pada perbaikan moral, pemuliaan akhlak, dan penanaman budi pekerti kharimah kepada murid – muridku.
“Hai manusia, mengapa kamu diam ?” Sang Waktu mengusik lamunanku.
“Aku baru sedang sadar sekarang setelah merenungkan perkataanmu tadi. Dan aku sadar, rasanya aku masih tenggelam dalam langkah yang belum tepat. Allah sebenarnya sudah menyediakan jalan yang lurus dengan memberikan tugas mulia, sebagai lading ibadah sebagai guru, namun langkahku belum dapat selurus jalan yang tersedia. Aku masih sering menyimpang ke arah yang tidak jelas. Kurang fokus.”
“Itulah sifat manusia pada umumnya. Dia selalu berdoa pada Allah agar ditunjukkan ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridhai Allah, namun setelah Allah mengabulkan setiap doanya itu, manusia kerap lalai. Manusia selalu menempuh jalannya sendiri, menyimpang dari jalur lurus bebas hambatan yang diberikan Allah sesuai dengan permohonannya.”
“Terus, apa sebenarnya tujuan kamu menemui aku mala mini ?” aku kembali bertanya.
“Menemanimu menemukan konsep hidup yang tepat. Menurutku konsep hidup manusia itu seharusnya jangan kalah oleh waktu. Seharusnya kau yang mengendalikan waktu, jangan sebaliknya, waktu yang mengendalikanmu. Kau bekerja hingga larut malam seperti ini, seperti dikejar – kejar waktu, seolah – olah tiada waktu lagi esok hari.”
“Yah… aku akui aku lalai. Tidak memanfaatkan waktu dengan tepat. Membiasakan menumpuk – numpuk pekerjaan hingga akhir batas waktu penyelesaian yang ditentukan. Akhisnya datang tugas – tugas lain yang juga harus segera dikerjakan, hasilnya aku puisng sendiri, mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.” Keluhku menyadari akan kelemahanku selama ini.
“Aku, melangkah selalu dengan stabil, enampuluh detik setiap menitnya, enampuluh menit dalam satu jamnya, belum pernah lebih cepat ataupun lebih lambat dari itu. Aku senang menjalankan tugasku itu dengan sabar dan tekun. Jika manusia dapat mengisi waktunya dengan langkah – langkah yang tepat dan benar, aku yakin manusia tidak akan pernah mengalami seolah – olah waktu berjalan terlalu cepat disbanding usahanya menyelesaikan tugas.”
“Iya… manusia selalu saja lalai dalam mensiasati perjalanan waktu, padahal kami tahu betul bahwa sang waktu tidak pernah mau menyimpang dari jalurnya.”
“Nah itu yang aku maksudkan tadi diawal pembicaraan.” Potong suara msiterius itu. “Manusia banyak yang mengeluh karena kekurangan waktu saat hendak menyelesaikan setupuk pekerjaan yang padahal salahnya sendiri mengapa pekerjaan itu dia tumpuk – tumpuk terus hingga batas waktu akhir penyelesaian. Saat kemudian datang berbagai pekerjaan lain yang juga harus diselesaikan, maka mereka akan menyalahkan aku, katanya aku terlalu cepat berlalu. Itu fitnah yang sangat menyakitkan, seolah – olah aku telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan mereka menjadi tidak mampu menyelesaikan tugasnya.”
“Terus, bagaimana caranya agar permasalahan itu tidak selalu terulang berkali – kali ?” tanyaku lagi.
“Atur pekerjaanmu sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Kalau bisa, selesaikan pekerjaan sebelum batas waktunya, agar saat ada pekerjaan baru, kamu masih mempunyai kelebihan waktu untuk memulainya. Jangan membiasakan menunda – nunda pekerjaan, karena itu akan menjadi boomerang untuk kamu sendiri.”
“Sebenarnya kami juga tahu dan faham soal itu. Tapi rasanya sulit untuk menerapkannya.”
“Tanamkan komitmen kedisiplinan dengan membiasakan menyusun schedule harian, catat dengan rinci hal – hal penting seperti hari, waktu dan pekerjaan apa yang harus dikerjakan segera. Laksanakan schedule itu dengan komitmen tinggi dan maksimal. Jangan berusaha mengikarinya dengan mengulur – ulur waktu, misalnya dengan membiarkannya waktu berlalu hanya untuk melamun, ngobrol, menonton acara TV yang tidak penting, atau bersendagurau tak berguna. Kecualin jika pekerjaanmu sudah selesai, barulah lakukan istirahat, menghibur diri dan lakukan hobby yang bisa membuat fikiranmu segar kembali agar ketika menghadapi pekerjaan yang baru, gairahmu tetap stabil.” Jelas Sang Waktu memberikan wejangan padaku.
“Sekali lagi aku ingatkan. Sebagai seorang guru yang memiliki tugas teramat penting dan berat, jangan pernah kalah oleh waktu. Kendalikan waktu oleh kecerdasan dan kepekaanmu, jangan malah waktu yang mengalahkan kecerdasan dan kepekaanmu, sehingga kamu menjadi budak waktu yang seolah – olah sepanjang harimu senantiasa dibebani oleh batas waktu yang selalu menghantuimu.” Tambah Sang Waktu lagi.
“Iya… terima kasih atas pembicaraan kita malam ini. Semoga pembicaraan kita mala mini menjadi titik awal perubahanku dalam menyesuaikan langkah perjalanmu dengan tumpukan beban pekerjaan yang aku punya. Aku akan mengurai beban ini perlahan – lahan, agar lebih ringan. Terima kasih sekali lagi duhai Sang Waktu yang telah mengingatkan semua kelemahanku selama ini.”
“Selamat melaksanakan tugas, bersabarlah, tekun dan fokus. Jangan lampaui batas kemampuanmu dengan memaksakan kehendakmu. Jika lelah istirahatlah, jika kantuk, tidurlah, karena hal yang kita paksakan untuk melawan batas kemampuan, akan berakibat lebih merugikan dirimu sediri. Jika kemudian kau sakit, maka siapa yang akan menyelesaikan tumpukan pekerjaanmu itu ? Jika kau sakit, bagaimana nasib murid – muridmu yang haus ilmu dan membutuhkan bimbinganmu ? Lakukan pekerjaanmu sesuai dengan kapasitan yang teleh diberikan Allah padamu. Berlaku lah adil pada semua anggota tubuhmu sendiri, agar mereka pun berlaku adil padamu. Berlaku lah arif pada anggota badanmu sendiri agar merekapun memperlakukanmu dengan arif dan bijak.
Kuhela napas panjang. Kutatap tumpukan kertas di atas meja  berisi materi pelajaran yang harus segara aku susun untuk proses pembelajaran besok pagi. Namun rasanya mustahil aku kerjakan sampai lewat larut malam. Karena mataku mulai berat, hidungku terasa sedikit tersumbat, dingin membuat kondisiku tidak stabil. Nampaknya gejala flu mulai menjalar ke jaringan hidung. Aku butuh istirahat sejenak. Sebelum subuh nanti kuusahakan kembali bangun dan menyelesaikan pekerjaan semampuku. Sisanya akan kuurai sesuai dengan kapsitas waktu yang kuatur sedemikian rupa, semoga Allah memberikan kekuatan dan kesabaran untukku. Aamiin !!


----------------------------- SEKIAN -------------------------- 

Kamis, 12 Oktober 2017

(CERPEN) SEKAR

Oleh : Pujangga Kelana

Sekar panik dihantui ketakutan. Teror mendadak menyergap. 10 orang berjubah putih menerobos, mengobrak-abrik karaoke yang baru 20 menit ia datangi. Sekar tidak mampu melarikan diri.  Para pengunjung lainnya lari berhamburan. Menghindari amukan. Sistuasi mencekam. Gaduh tidak karuan. Penerobos membabibuta memecahkan gelas dan botol minuman.
“Allahhuakbar!  Allahhuakbar!” seru peneror bersahutan
“Bakar! Bakar! Hancurkan! Bunuh!“ timpal yang lain dari luar, ikut memprokasi.
Sekar terkulai di lantai dekat shofa. Tulang kakinya seperti melumer, tak mampu menyanggah tubuhnya sendiri.
“Heh pelacur, berdiri kamu!“ bentak pengguna jubah putih yang bertubuh kurus.
Sekar semaput. Dia manut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, saat digusur paksa, digelandang ke luar.
“Kamu mucikari atau pelacur, hah?” sambut yang berjanggut tebal di ambang pintu, menjambak rambut Sekar. Mendorongnya ke sisi dinding.
“Allahhuakbar! Allahhuakbar!” kalimat takbir terus menggema bersahutan. Lantang memecah malam, menembus langit kelam tanpa bintang.
“Siapa pemilik karaoke ini?” tanya yang berjanggut tebal sambil membalikkan badannya ke belakang
“Saya pak!” seorang Tionghoa mengangkat tangannya. Ia ketakutan. Tubuhnya gemetar.
Sandra yang lain berkerumun, jongkok sambil menyembunyikan wajahnya, melindungi kepalanya menggunakan tas atau jaket miliknya.
“Kami sudah mengingatkan, jangan ada praktik prostitusi di sini. Tapi kalian tetap saja tidak menggubris peringatan itu.”
“Tempat ini hanya tempat karaoke biasa, Pak. Tidak ada praktik prostitusi,” kilah pemilik karaoke.
“Bohong!” sela yang berbadan tinggi dan gempal. “Orang ini saksinya,” dia mendorong Jeffry, keamanan karaoke yang baru 3 hari dipecat. “Dan ini, lihat! Coba kalian perhatikan, apa ini?” lanjutnya lagi semakin garang. Dibantingnya beberapa botol minuman keras ke aspal. Sekar menjerit histeris lengannya terkena pecahan botol. Perih, berdarah. Sekar terus memagingi lukanya. Tanpa ada yang memperdulikan.
“Betul saya saksinya,” Jeffry angkat bicara, “saya sudah berulang kali memperingatkan Bapak agar tidak menyediakan tempat untuk prostitusi di karaoke ini, tapi Bapak marah, berhujung pada pememecatan,” jelas Jeffry.
“Sudah bakar saja. Bakar!” pekik para pejubah putih itu keras.
“Allahhuakabar! Ya Allah…limpahkan laknat-Mu untuk para budak nafsu ini!” lengking suara yang berjanggut tebal sambil menengadahkan kedua tangnyanya ke langit, diantara gemuruh kalimat takbir.
Sementara itu, Sekar yang  berada dalam sekapan hanya bisa pasrah dengan apa pun yang akan menimpanya. Sakit, pedih dan takut adalah komposisi ampuh, membuatnya serasa lumpuh. Dan tiba – tiba, “huff!” Hamzah mencul dari balik kerumunan pengguna jubah putih. Melompat raih tubuh Sekar, belati tajam terhunus mengancam. Hamzah berlari membawa Sekar menghilang dibalik temaram. Menjauh dan semakin jauh dari tempat terkutuk itu.
Melihat itu pria-pria yang mengaku Mujahid itu hanya bengong. Seperti anak kehilangan mainan. Saling menatap. Bicara dengan tatapan.
Merasa situasi aman. Hamzah menghentikan langkahnya. Sekar menyusul dari belakang. Napasnya terengah. Hampir  pingsan kelelahan.
“Kamu lari terlalu cepat. Hampir aku tertinggal jauh,” omel Sekar, protes.
“Ah kamu memang keong,” Hamzah duduk di sisi trotoar dengan setengah menjatuhkan diri.
Sekar mencoba mengenali wajah dingin Hamzah. Namun nihil. Ini raut muka yang sangat asing. Belum pernah dikenal sebelumnya.
“Kamu siapa? kok tiba – tiba muncul dan menyelamatkan aku?” tanya Sekar sembari mengendalikan napasnya yang belum normal.
“Naluriku. Tidak tega meihat orang teraniaya,” ujar Hamzah sangat dingin. Kemdian bangkit dan beranjak meninggalkan Sekar.
“Hei! Mau kemana kamu?” Sekar mengejar. Meraih bagian belakang jaket hitam Hamzah dan menariknya keras.
“Kamu sudah memaksa aku ke tempat ini. Terus mencampakan aku begitu saja?” Sekar marah. Kecewa tidak diperdulikan.
“Kamu sudah selamat dari orang-orang kalap itu. Di sini aman. Aku mau pergi, kamu pulang saja sendiri.”
Hamzah mengibaskan tangan Sekar hingga tubuhnya oleng, hamir tersungkur.
“Heh! Kurang ajar yah! Aku tidak tahu arah. Tempat ini asing bagiku. Kemana aku harus mencari jalan untuk menemukan rumah tempat tinggalku?” Sekar terus mengikuti langkah Hamzah. Ia lari terhuyung ke depan Hamzah. Mencegatnya dengan merentangkan kedua tangan. “Apa kamu tidak membutuhkan sekedar ucapan terima kasih dari aku yang sudah kamu tolong? “ rajuk Sekar. Napasnya masih terengah – engah.
Hamzah menyeringai dingin. Wajah saljunya semakin beku disaput angin tengah malam, menjelang pagi. Sekar hampir terjengkang ketika Hamzah yang kekar itu menabraknya.
“Hai! Apa ada orang di sini?“ teriak Sekar. mulutnya hampir nempel ke telinga Hamzah. “Boleh kan aku meminta sedikit perhatian dari kamu? Meminta tanggung jawab kamu yang sudah membawa kabur aku ke tempat ini? Boleh kan aku mendengar sedikit suara kamu menanggapi kata-kata aku? Apa kamu bisu? Kamu dungu, hah?”
“Diam!“ bentak Hamzah sambil meraih lengan Sekar yang memukuli bahunya.
“Aduh!” ringis Sekar. Luka bekas pecahan botol di lengannya diremas kuat jemari Hamzah. Darah segar kembali ke luar, basahi telapak tangan Hamzah. Wajah dinginnya sedikit melumer. Ada kehawatiran di raut mukanya. Bergegas menarik lengan Sekar ke kedai kopi di tepi jalan. Kedai kaki lima di selasar depan gedung perkantoran yang hanya operasi di malam hari. Kedai yang juga menyediakan rokok, obat-obatan, bahkan alat kontrasepsi.
“Ada obat luka, mas?” tanya Hamzah.
Sekar duduk di bangku kayu panjang, membelakangi meja.
“Ada,” sahut pedagang sambil menyodorkan betadine.
“Sekalian handiplasnya tiga,” pinta Hamzah. Segera dikeluarkannya obat luka dari kemasan. Memotong ujung tutup botol plastiknya dengan belati agar berlubang. “Sekalian kapas, mas,” pintanya lagi.
Pedagang yang baru saja memberikan handiplas, bergegas mencari kapas. Jadi sibuk juga melayani Hamzah.
“Aduh. Pelan-pelan dong! Sakit nih!” Sekar merintih, saat Hamzah merekatkan handiplas yang ke-3 di atas luka.
 “Kamu tinggal dimana?”
Sekar menoleh ke Hamzah. Ia tidak percaya, gunung es itu mulai lumer.
“Jembatan lima.”
“Alah! Aku kira dari planet Mars, Pluto atau negeri antah berantah. Ini masih Harmoni, neng. Di depan sana jalan Hayammuruk, masih kawasan Kota. Kenapa tadi merengek-rengek tidak tahu arah jalan pulang, segala?” hardik Hamzah. “Cepat habiskan minumanmu, aku antar ke depan. Pakai taksi saja, hari sudah hampir pagi.”
Hamzah membayar semuanya, walau Sekar mencegah. Keduanya beranjak pergi. Menelusuri selasar ruko yang sepi.
Dari sebuah lorong kecil yang gelap, bermunculan 5 orang lelaki berjaket hitam menghentikan langkah Hamzah. Salah seorang dari mereka mendekap tubuh Hamzah dari belakang. Satu orang lagi menghantam perut Hamzah dengan kepalnya yang bulat lagi keras. Hamzah meringis. Sakitnya tak terhingga. Seisi perutnya terasa hancur lebur.
“Tolong!” teriak Sekar, berharap ada orang yang mendengarnya.
“Diam!” yang satu orang lagi mendekap Sekar, menyumpal mulutnya dengan telapak tangan. Kasar sekali.
“Jangan menghindar terus kamu. Dua hari kami mencari, baru ketemu di sini,” ujar yang bertubuh paling gempal dan berwajah kasar, seraya mengangkat dagu Hamzah dengan jemari tangan kirinya. Tangan kanan melayang ke pipi kiri, keras sekali. Darah perlahan mengalir dari sudut bibir Hamzah. “Mana janji kamu melunasi hutang? Sudah lewat dua hari! Mau lari dari tanggung jawab, yah?” lanjutnya sambil menggeledah saku celana  Hamzah. Dari dompet yang diambilnya, hanya ada 1 lembar 50.000 dan 4 lembar 2000. Uang itu diambilnya, sedang dompetnya dilemparkan ke wajah Hamzah.
Melihat Hamzah tidak berdaya, Sekar berontak melepaskan diri. Tangan yang menyumpal mulutnya digigit dengan keras. Sambil berbalik, mengayunkan kaki ke selangkangan.
“Aduh!” keluhnya. Tubuhnya terhuyung, membungkuk menahan nyeri.
“Hentikan!”teriak Sekar,“jangan kalian teruskan tindakan bodoh ini”lanjutnya. “berapa hutang yang harus dia bayar? Saya akan membayar semuanya,” menunjukkan dompet yang diambilnya dari tas kecil
Perhatian ke-5 lelaki berjaket hitam itu berpaling pada Sekar. Hamzah dicampakan bagai sampah. Terpuruk di sisi dinding ruko yang sudah tutup. Sekar memburu tubuh lunglai Hamzah. Memeluknya erat. “Berapa saya harus bayar?“ ulang Sekar. Ia menangis tersedu. Khawatir melihat kondisi Hamzah.
“Hahahah! Hebat! Heba!” ledek yang bertubuh gempal. “Pelacur cantik rela berkorban demi si bodoh lagi dungu ini, rupanya? Hebat! Hebat!” lanjutnya disertai tepuk tangan.
“Heh! cepat bilang, berapa hutang dia yang harus dibayar?” desak Sekar ingin segara terbebas dari suasana tidak nyaman ini. Dengan sigap mengambil belati dari pinggang Hamzah dan dibidkkan ke arah mereka dengan wajah beringas
“Sabar! Sabar! Semua bisa diatur,” mereka mundur, menjaga jarak. “Cukup 500.000 saja,” sahut Si Tubuh Gempal, merendahkan suaranya.
Sekar mengambil 5 lembar uang seratusribuan dari dompet dan melemparkannya hingga berhamburan. Dengan tetap waspada yang bertubuh gempal memunguti uang dari tanah. Berdiri perlahan terus mencium uang beberapa kali sambil tertawa. Lantas pergi. Menghilang ditelan lorong kecil yang gelap lagi sepi.
Sekar menyeka darah yang mulai mengental dari bibir dan dagu Hamzah dengan sapu tangan. Hamzah menepis tangan Sekar. Berusaha bangkit sambil meringis menahan sakit. Baru berapa langkah, Hamzah terseok. Sekar menangkapnya namun beban terlampau berat, mereka jatuh bersamaan.
“Sudah…sudah. Istirahat saja dulu di sini,” Hamzah dipapah ke lantai depan ruko yang lantainya agak bersih. Dibaringkan, kepalanya diganjal tas kecil sebagai bantal. “Tunggu sebentar. Aku kembali ke warung tadi mengambil sisa obat luka dan barang kali ada obat pereda nyeri yang dijual di situ. Tolong jangan kemana-mana, hanya sebentar,” pesan Sekar.
Setengah berlari Sekar kembali, namun Hamzah sudah tidak ada di tempat. Tinggal tas kecil miliknya tergeletak. Sekar mencari ke sekiling. Sepi. Hamzah seperti hilang ditelan bumi. Di lantai putih dekat tas kecil miliknya, tertulis kata “pulang!” menggunakan bercak darah.
“Hhmmm…lelaki misterius,” gumamnya disela helaan napas panjang, melepas beban.
Malam begitu panjang bagi Sekar. Serangkaian kejadian beruntun, melelahkan. Menyisakan trauma dan ketakutan. Dibawanya rasa itu dalam sujud shalat subuh, sesampainya di rumah. Ia tak sempat sekejap pun tidur malam tadi. Mentari menjemputnya sejak di pintu taksi yang mengantarkannya pulang. Shalat subuh pun agak telat, namun dia harus menunaikannya. Ada tangis perih yang ingin ditumpahkannya segera. Mohon apun atas teguran-Nya.
“Ya Allah…Ya Ghaffaar…Ya Raqiib…yang teramat kuasa mengawasi setiap insan. Maha mampu membaca hati dan pikiran. Teguran-Mu menggugah kesadaran. Membuat terperangah dari mimpi melenakan. Hamba sadar salah menentukan jalan. Melanggar segala larangan. Terbuai harapan yang  hamba reka sendiri dengah kebodohan. Berilah hamba ampunan. Arahkan jalan hamba menuju kebenaran, jalan yang lurus ke surga yang Kau janjikan.
Ya Allah…hamba sadar, pilihan ini sangat keliru. Hidup tak mentu, mencari dunia bukan di jalan-Mu. Hamba tidak memiliki pilihan lain selain jalan itu. Jalan yang hamba harap dapat melihat senyum bahagia di bibir mungil kedua adik dan ibuku.
Ya Allah…Ya Shomad…hamba bersimpuh luruh sepenuh hati sungguh tanpa paksa. Hamba lacurkan keimanan ini dengan sengaja, buntu pikir, akal dan jiwa. Jalan lain di benakku, tiada. Jika siksa itu kemudian hamba terima, hamba rela asalkan adik dan ibu hamba bahagia.
Aamiin!”
Butiran bening air mata pun basahi pipi, hingga mukena. Hilang daya. Musnah gairah melanjutkan perjalanan waktu yang kian gamangkan jiwa Sekar. Ditolehnya putih abu dan hijab yang tergantung di balik pintu. Bungkus kemunafikan yang harus segera ia perankan kembali di sekolah. Mengelabui teman-teman dan semua guru dengan sandiwara dusta. Dalam episode yang terlanjur dinikmatinya.
“Kak…aku harus beli buku pembahasan soal UN untuk latihan,” rengek Santi, “teman-temanku sudah punya semua,” lanjutnya.
“Itu bekas kakak kan ada. Gunakan saja itu dulu. Nanti kalau kakak punya uang, kakak belikan di Senen,” ujar Sekar sambil memasang tali sepatu.
“Terbitan tahun berapa, kak. kadaluarsa?”
“Materi soalnya sama saja, Santi. Hanya cara pendalamannya yang beda. Kan kakak tadi bilang, nanti kalau kakak punya uang, kakak akan beli yang baru.”
“Terus janji kakak membelikan sepatu Sadam, gimana kak?” tegur Sadam, adik Sekar yang paling kecil. “Lihat tuh, sobeknya sudah membesar. Teman – teman selalu mengejek Sadam. Kata mereka sepatu Sadam lapar, mulutnya mengaga terus minta makan,” Sadam menunjukkan sepatunya yang sudah menganga lebar bagian depannya.
“Sudah lah Sadam, Santi, jangan mengganggu kakakmu. Ayo cepat sarapan sana, hari semakin siang,” lerai bu Sarah diselingi batuk berkepanjangan. Dua tahun sudah bakteri Mikobakterium tuberkulosa menggerogoti paru-parunya. Bu Sarah harus meminum obat Puskesmas rutin tanpa putus selama 6 bulan. Penyakit itu pula yang mekmaksa Sekar menjalani dunia malamnya. Berharap dapat mengobati ibunya di rumah sakit yang lebih baik.
“Pulang sekolah, jangan lupa mampir ke Puskesmah yah, Sekar. Obat ibu tinggal untuk siang ini saja.”
“Iya, Bu,” sahut Sekar.
Pengobatan gratis di Puskesmas, terasa sangat lamban meredakan sakit Bu Sarah. Sekar merasa berdosa tidak mampu memberikan yang terbaik untuk ibunya. Uang dari melayani birahi hidung belang hanya menutupi  kebutuhan makan harian dan kontrakan rumah setiap bulan. Hari ini, malah dompetnya terkuras habis demi melunasi hutang Hamzah yang misterius.
“Santi, Sadam. Jangan terlampau banyak menuntut pada kakakmu yah, Nak,” nasihat  Bu Sarah. “Yang penting kalian bisa sekolah. Kurang sedikit-sedikit soal buku, sepatu atau seragam, jangan jadi penghalang kalian untuk semangat belajar di sekolah. Tujuan kita hanya satu, bagaimana caranya bisa pintar, menjadi anak shaleh dan shalehah,” lanjut Bu Sarah sebelum melepas anak – anaknya berangkat ke sekolah. “doa ibu selalu menyertai kalian, Nak.”
“Ya, Bu, asalammualaikum!” sahut Sinta dan Sadam bersamaan. Usai mencium tangan ibunya mereka pun pergi.
“Sekar juga pamit yah bu. Jangan lupa sarapan, terus minum obatnya,” Sekar mengingatkan. Memeluk ibunya penuh cinta. Hangat terasa. Meski kemudian batinnya merintih, sesal menyelinap dalam hati. Dia bukan anak shalehah seperti yang diharapkan ibunya.


SEKIAN

(Ilustrasi gambar diambil dari )
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEMz2C8HidPV5qbRM8hqLXe35udAv5ooA_NOks8L6Iyf2kGdz1MjaKDUexcyDWNqOvHcjJlEHYpPQeTzCElD0v2qPGt6pE6COsGrxWt341qRq97Ks2xGxEg7mT0aL-K1jncij3FQ-yXZC5/s1600/Gambar-Orang-Sedih-dan-Menangis-33.jpg